Djangat Indonesia (Sumber : Instagram @Djangatofficial)
Djangat Indonesia merupakan kelompok musik yang berdiri di Pekanbaru pada tahun 2002, diinisiasi oleh seorang seniman musik Anggara Satria atau yang akrab dipanggil Angga. Sejak awal berdiri, kelompok ini kerap bereksperimen dalam setiap penciptaan karyanya. Tahun 2011 Djangat Indonesia mulai fokus pada pendalaman gaya bernyanyi, bertutur etnik/tradisi di pedalaman Riau dan Sumatera.
Kata “jangat” sendiri, Angga ambil dari sebutan mitos untuk nama hantu laut di daerah Sungai Pakning, Bengkalis, yang memiliki kuku panjang dan suka menggingit kulit. Bagi orang di Desa Sejangat, barangsiapa yang memelihara “jangat” maka akan memiliki kekuatan yang tidak terlawan. Spirit itulah yang ingin diambil oleh Angga dan kawan-kawan. Sedangkan dengan menambahkan Indonesia bermaksud agar orang-orang yang mendengarkan musik mereka mengetahui asal kelompok ini, karena saat itu Angga bekerja di Singapura dan Johor. Saat ini, laboratorium musik Djangat Indonesia berada di kedua negara tersebut, sementaraPekanbaru menjadi homebase.
Dalam proses berkarya Djangat Indonesia memiliki sistem per-proyek, di mana setiap proyek bisa melibatkan orang yang berbeda-beda. Pada proyek pertunjukan musik bertajuk “Kayat” misalnya, Angga menggandeng dua musisi, Yunatrawan dan Leva Khudri Balti. Yunatrawan adalah seorang vokalis dan pemain gendang yang berasal dari Kuantan Singingi. Tugasnya memperkuat konsep penciptaan musik yang memang berbasis pada sastra lisan “kayat” yang berasal dari tradisi masyarakat Kuantan Singingi. Sedangkan Leva atau yang dikenal dengan nama Lepok, adalah mahasiswa jurusan musik Institut Seni Indonesia Padang Panjang.
Dalam karya musik “Kayat” Angga berperan sebagai komposer dan Yunatrawan yang kini kuliah di jurusan sastra Universitas Lancang Kuning bertugas menulis lirik lagu. Sementara itu Leva Khudri Balti yang memiliki latar belakang penciptaan musik tradisi berperan mencari karakter Yunat ke dalam musikologi, sekaligus ia bertanggungjawab terdahap performance performative.
Menurut Leva, dalam konsep pertunjukannya musik bukan hanya soal pendengaran, tetapi mata juga harus disenangkan karena ada pesan-pesan yang tidak tersampaikan melalui musik dan teks. “Pada pertunjukan harusnya seluruh indera manusia aktif. Warna menyimbolkan elemen, warna berhubungan dengan frekuensi di mana frekuensi berhubungan dengan jiwa. Sehingga pertunjukkan harus menunjukkan semua simbol itu,” ungkap Leva.
Kayat adalah sastra lisan yang berasal dari daerah Kuantan Singingi pada dasarnya memiliki fungsi yang berbeda-beda, bisa ditujukan untuk menghibur ataupun memberikan nasehat. Djangat Indonesia mengkombinasikan dua fungsi tersebut.
Album Djangat Indonesia yang pertama menceritakan bagaimana manusia bertingkah laku seperti binatang yang dibungkus satire dengan maksud mengejek manusia secara halus menggunakan perumpamaan. Pada album “Kayat” binatang terdapat empat lagu yaitu kayat gajah, singa, ikan, dan ular. Misalnya saja ikan dengan sifat yang pelupa, singa jantan pemalas
yang suka berleha-leha, lalu ular yang dapat membunuh menggunakan bisa yang keluar dari mulutnya, bisa tersebut dapat mengumpamakan kata-kata dari mulut manusia yang juga dapat membunuh.
Referensi yang digunakan Djangat Indonesia selain dari tradisi lokal juga banyak diambil dari kitab suci Al-Quran. Contohnya Kayat Bosi yang akan hadir pada album kedua, dengan mengulik surah Al-Hadid yang merupakan surah ke 57 dari 114 surah dalam kitab suci Al-Qur’an, disebutkan bagaimana besi mempunyai kekuatan hebat dan banyak manfaat bagi manusia.
Bagi Djangat riset artistik merupakan hal yang esensial bagi pembuatan lirik ataupun musik. Bagaimana cara mengidentifikasi musik suatu objek, misalnya besi mengeluarkan bunyi ting-ting-ting, ular dengan bentuk tubuhnya yang meliuk-liuk menghasilkan musik yang terdengar lentur, begitu juga dengan objek lain seperti gunung, angin, dan lainnya.
Dalam proses identifikasi objek, personel Djangat Indonesia dituntut mengenal suatu hal secara komprehensif. Apapun yang mereka berikan kepada penikmat karya mereka memiliki asbabun nuzul dan tidak asal-asalan. “Kalau lagu kami belum berguna sekarang, mungkin suatu saat nanti,” ucap Yunat. Angga Satria menambahkan, “yang jelas harapan kami, karya yang kami
buat dapat dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.” Cara yang dilakukan dalam rekognisi suatu objek ke dalam musik pun berbeda-beda. Misalnya luar angkasa yang berada di atas bumi ditransformasi ke dalam musik dengan menggunakan nada tinggi, sedangkan tanah yang berada di bawah menggunakan nada rendah. Belum lagi karakter tanah berbeda-beda, ada yang keras, lembab, dan sebagainya itu semua harus menyesuaikan dengan ide yang ingin disampaikan. Oleh sebab itu riset yang mendalam adalah kunci.
Untuk sekarang Djangat Indonesia sedang mempersiapkan album kedua yang menurut mereka membutuhkan eksperimen yang lebih mendalam. Walaupun masih mengeksplorasi seni Kayat dari daerah Kuantan Singingi dan dengan personel yang sama, tema album mereka nanti mengambil unsur elemen-elemen bumi.
Berbeda dengan album pertama yang hanya sebatas mencari persamaan sifat manusia dengan hewan, album kedua mereka nilai lebih menantang dan proses penciptaannya juga jauh berbeda. “Pada album kedua, vertikal dan horizontalnya harus dipikirkan. Hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan penciptanya,” tambah Yunatrawan. Menurutnya
proses sudah seharusnya seperti itu, mungkin karena proses yang harus dilewati memang membutuhkan waktu sehingga terasa lama. Walaupun baginya bisa-bisa saja dikerjakan dengan cepat, akan tetapi patut dipertanyakan lagi bagaimana hasilnya.
Menurut mereka Kayat Binatang sebenarnya adalah usaha untuk menarik pendengar. Hari ini telinga masyarakat sudah mulai cerdas, orang mulai mencari yang unik, mengulik sebuah karya musik lebih dalam, apalagi saat ini didukung teknologi sehingga mampu memiliki referensi yang luas. Masyarakat sudah lebih merdeka dalam menentukan musik yang “enak” di mana para pendengar tidak harus diarahkan lagi oleh label musik.
Berani untuk anti mainstream dan yakin dengan kalimat grup musik efek rumah kaca, Djangat Indonesia percaya bahwa “pasar bisa diciptakan” sehingga dari dulu fokus mereka hanyalah bagaimana caranya menghasilkan karya terbaik dan bermanfaat. “Kalau mau dengar alhamdulillah, kalau enggak tidak masalah,” ungkap Leva.
Menurut mereka banyak seniman musik yang berangkat dari musik tradisi untuk awal mereka akan mencari pasar terlebih dahulu. Seiring berjalannya waktu setelah mendapatkan pendengar yang menyukai karya mereka, mereka akan kembali pada etnik. Contohnya saja Dewa Budjana dan Isyana Sarasvati.
Hingga saat ini Djangat Indonesia sudah mendapatkan banyak penghargaan, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Walaupun awalnya Angga merasa kelompok musik mereka lebih diterima dan dihargai di negara tetangga, bahkan mereka menjadikan itu sebagai strategi untuk dikenal oleh sekutu satu rumpun.
Saat ini mereka sudah merasa perkembangan musik di Indonesia tidak seperti dulu yang menyebabkan Angga ingin keluar dari kurungan itu. Karena dulu Angga sempat dibilang penghancur mainstream dalam khazanah musik Melayu Riau. Misalnya dengan memainkan tiga gong selama setengah jam, membuat musik yang hanya berdurasi selama 4 detik, lalu performing art berjudul “kata guruku pemain gambus adalah imam” yang di akhir pertunjukan ia mematahkan gambus tersebut. (VSP)
Verilla dari Majalah Suku Seni berbincang dengan personil Djangat Indonesia: Angga, Yunatrawan, Leva Khudri Balti.
© 2024 Rumah Kreatif Suku Seni Riau